Kamis, 18 Oktober 2012

Akan aku ingat selalu


Redup surya yang sejuk sore ini
Tak mampu memcerahkan redup hati yang tersakiti
Apa arti pejalanan ini
Ketika luka yang sedikit demi sedikit tertanam

memang...sakit terlalu sakit
ketika kokoh benteng terkikis oleh akar ilalang yang angkuh
apa arti sauh yang terjatuh diambil kembali?
ketika luka yang berakar tak mudah pudar entah sampai kapan?

pasti akan terbias selalu
dikelopak mata yang mencoba menahan runtuh rintik air mata
mencopa terpejam
ternyata hanya menambah kesumat menghujam!

kata-kata yang pernah keluar
yang pernah dianggap sebagai cerminan pribadi
kini sedikit terhapus oleh debu semata
aku akan ingat itu!

aku ingin pulang
tapi kemana aku harus ayunkan langkahku?
aku ingin bercerita
tapi kepada siapa aku takut tunjukkan langkahku?

secangkit tinta telah tertumpah di bejana
memudarkan kebeningan yang bertahan sampai kapan aku tak tahu
biarkan semua tinta mengendak di sukma
tak mudah memang

jelmaan iblis telah menodainya!
aku ingat sanjungan untuknya!
tapi dia bukan apa-apa untukku!
betapa ingin aku sayat kulitmu untuk bantalan sandalku!

dari ujung hati yang terlampau dalam
dan Tuhan menjadi saksiku!
"Berikan sedikit PERINGATAN untuknya!!"
"Berikan sedikit TONJOKKAN untuknya dari aku!!"

Senandung dawai rayu sang pujangga


Semilir angin menyusup diantara gerimis
Butiran-butiran padi yang mulai menggeliat
Disaat tanah memadu kasih dengan sekumpulan cacing-cacing yang kedinginan
Mengisik kulit yang menggelitik akar muda

Seruling yang bersemayam di dinding bambu
Bercerita tentang masal lalu ketika masih hijau bertengger di pucuk sana
Ada bayang yang terlintas sendu
Ada cerita yang riang merayu

Lirih alunan kidung syair sang pujangga
Menampilkan rasa yang dalam untuk sebuah cerita
Merekah bunga setangkai di taman surgawi
Menyongsong sang fajar yang tersipu diantara gerimis yang berlalu

Dawai yang hampir putus
Masih alunkan bisikan rindu
Dawa yang hampir putus
Masih kidungkan syair rayu

Engkau bak mekarnya mawar yang semerbak di antara rerumputan
Menusuk dalam hati yang terbakar asmara
Menghangatkan diri dari dingin gerimis dengan untain kata
Gemulai kata yang sibakkan putih kulitmu...

Kilasan Jejak


Mewangi aromamu yang menusuk sisi paru
Ibarat semerbak syurga dari tubuh Masyitoh di tungku Fir’aun
Simpul pipi yang merekah ketika bias senyum mengembang di bibir basah
Ibarat telapak Mulawarman menghias bongkah batu membisu

Saat itu…
Ya saat itu ketika pandangan tertutup sembilu
Di remang hari kau teriakkan kesakitanku
Terbujur kaku mengais detik jam berlalu

Terngiang kokoh janji terhujam di lubuk sanubari
Dan masih kurasakan usapan jari di ujung mataku
Temani diri duduk di dipan bambu penghujung hari
Merangkai kata menjadi cerita di langit biru

Masyitoh pergi…
Mulawarman pergi…
Engkau? Engkapun pergi…
Sisakan sangkur yang tertancap dalam karatnya hati

Aku yang masih duduk di bangku bambu
Hanya bisa berkisah tentang jalan yang pernah kita susun
Tentang asa yang membumbung tinggi melewati batas pandangku
Tentang dinginnya hari di balik terjal dinding waktu berlalu

“DÉJÀ VU RINDU”

Malam ini kucoba tajamkan penaku
Mencoba memeras imaji
Menyusun patah demi patah yang tercecer di dasar otakku
Merangkai rasa yang pernah muncul di temaram hari

Degup hati  yang memaksaku untuk terus berlari di atas kertasku
Menguak ruas demi ruas yang sudah hampir berdebu
Hanya untuk menemukan bayang yang pernah mengisi ruang rinduku
Seolah pernah ku lihat bayang itu di waktu lalu

Rembulan muncul di cakrawala
Tersenyum malu dibalik awan yang berjajar rapi
Mengajak aku untuk terus bergelut dengan tanyaku
Ya, rindu ini…rindu yang pernah menjagakan mimpiku

Sejenak kupandangi sesosok wajah berlalu
Dengan gaun yang sedikit terbuka
Ada desir menyusup pelan

Dimanakah aku pernah menyapa sosok itu?

Aku Tak tau seberapa Besar Rinduku PadaMu


Tak Sempat Menyapa, di senja ini. . .
Ku hampiri abjad, yang bisu tak berirama. . . .
Ku urai, waktu yang lalu. . .
Ku Lontarkan sebuah kata-kata pilu, pada Jengahnya lembar tipis menjadi sajak-sajak sendu,
Ku tata semua rasa menjadi makna, tak terarti. . .
Rasanya, kau terus merayuku. . .Untuk Mengungkapkan Keindah sebuah sajak Rindu yang Berceloteh di dinding Hati. . .
Berkelebat, menyabet perih nurani. . .
Ku, rangkap semua Penaku, menjadikan sebuah Prosa indah berwarna- warni, layaknya Pelangi. . .
Kata pilu, mungkin tak berarti, jika ternyata aku masih Merindu. . ku coba memapah kata Cinta, tak mampu ku goreskan, Yang ku goreskan ternyata Hitam Legam sebuah Kerinduan. . .
Kerinduan, yang terbalaskan sebuah cacian. . .
Entah, . . .
Entah, kapan semua rasa itu akan tergerus halus menjadi Lupa yang Permanen. . .
Penaku, belum cukupkah kau bermesraan dengan jemari kasar ini. . .
Belum, sempat ku ucap, tak terasa Penaku terus bercengkrama di atas Lembaran putih yang masih perawan. . .
Tak, peduli jemari ini semakin Luwes menjamah semua Lembaran. . .
Tetap, saja yang ku Torehkan Hanyalah kata Rindu. .
Rindu. . .rindu. . .rindu.
Ku Lenyapkan semua egoku. . .
Penaku, apakah kau tak lelah mencatatnya setiap waktu. . .aku tak mau, jika tintamu habis mengering, hanya karna kata pilu Rinduku ini, aku tak mau jika semua tentangnya, Hanya membuatmu Kehabisan nafas hidupmu. . .
Karena, setiap nafasmu mampu membuatku Mengingat Semua tentang filosofi Hidup,..
Penaku, ku istirahatkan kau dahalu, Dan akan ku isi Ulang kau. . .agar kau dapat menemani, ku sepanjang Masa. . .